• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Hukum Poligami dalam Prespektif Islam

 on Jumat, 06 Juni 2014  

HUKUM POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH



BAB I
PENDAULUAN

A.                Latar Belakang
Dilatar belakangi oleh maraknya poligami dikalangan masyarakat sehingga banyak dari kaum waita yang terlantar dikarenakan tidak bisanya sang suami dalam memberikan nafkah kepada istri-istrinya. Bahkan pada zaman modern saat ini poligami itu sendiri bukan menjadi sesuatu yang asing di mata masyarakat. Siapapun boleh dan siapapun bisa melakukan poligami. Tanpa mempertimbangkan hal-hal yang diajarkan islam dan rasulnya merekapun sewenang-wenang bebas melakukan poligami. Inilah yang seharusnya diperhatikan oleh kaum laki-laki, walaupun islam membolehkan dan rasul pun melakukannya bukan berarti poligami ini bisa dilakukan seenaknya. Banyak yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan untuk melakukan poligami.
Di Indonesia sendiri tidak ada peraturan yang mengikat untuk seorang laki-laki melakukan poligami. Semuanya diperbolehkan. Bahkan banyak sekali seorang laki-laki yang mempunya istri lebih dari 10. Akibatnya banyak waita-wanita yang menjadi istri tua atau istri yang pertama diceraikan dengan alasan sudah tidak bisa membina keluarga dengan baik. Ditinjau dari masalah tersebut jika dibiarkan akan berdampak kejahatan dalam rumah tangga. Bisa saja aksi bunuh membunuh, tipu menipu dan aksi kejahatan kejahatan lain terjadi bila poligami ini tidak dilakukan denga cara yang syar’i dan sesuai dengan yang diajarkan oleh islam. Oleh karena itu penulis menulis judul “poligami dalam perspektif hukum islam”. Selanjutya untuk lebih jelasnya mengenai masalah hukum poligami dalam perspektif islam akan dibahas dalam makalah ini.



B.                 Rumusan masalah
a.       Apa itu poligami ?
b.      Bagaimana konsep poligami dalam islam ?
c.       Bagaimana hukum poligami dalam perspektif islam ?
C.                Tujuan
a.       Untuk mengetahui definisi poligami.
b.      Untuk mengetahui konsep poligami dalam islam.
c.       Untuk mengetahui hukum poligami dalam perspektif islam.

D.                Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang baik bagi semua pihak, antara lain :
1.      Bagi penulis, makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kepemimpinan wanita dalam islam, serta untuk memperoleh pengalaman menganalisis serta sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka penyempurnaan konsep mata kulah Seminar Pendidikan Agama Islam.
2.      Bagi pembaca, makalahini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai poligami dalam perspektif hukum islam.

E.                 Metode
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka dan dari internet
F.                 Sistematika penulisan makalah
Dalam makalah ini padabab 1 terdiri atas latar belakang masalah, yang mana penulis mengangkat tentang hukum poligami dalam perspektif islam. rumusan masalah pada makalah ini meliputi ingin mengetahui apa itu poligami, bagaimana kosep poligami, dan bagaimana hukum poligami dalam islam. Tujuan yang kami harapkan adalah untuk mengetahui bagaimana islam memandang poligami yang semakin marak dikalangan masyarakat. Manfaat yang akan diperoleh adalah menambah wawaasan tentang hukum poligami dalam perspektif islam.Metode yang kami gunakan adalah studi pustaka dan mencari dari internet.dan sistematika penulisan.
Selanjutnya untuk bab 2 terdiri dari definisi poligami,Secara etimologis atau lughowi bahwa kata poligami berasal dari bahasa yunani gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, secara gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara tertimonologi atau istilah Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan. Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami. Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waku yang sama.
Untuk bab 3 dalam makalah kami terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan dan saran ini kami menyimpulkan materi makalah yang telah kami paparkan. Dan juga kami berharap dengan adanya saran dalam pembahasan makalah ini, kita bisa tahu bagaimana hukum poligami dalam perspektif islam.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Poligami
Secara etimologis atau lughowi bahwa kata poligami berasal dari bahasa yunani gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, secara gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara tertimonologi atau istilah Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan. Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami. Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waku yang sama. Menurut Drs. Sidi Ghazalba, poligami ialah perkawinan antra seorang laki-laki dengan perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah ini mengandung pengertian poligini dan poli andri, tetapi karena poligini yang lebih banyak terdapat, terutama sekali di Indoneisa dan Negara-negara yang memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
Dalam islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan.
Poligami dibagi menjadi tiga bagian :
1.      Poligini adalah seorang pria yang memiiki bebrapa istri sekaligus.
2.      Poliandri adalah seorag wanita memiliki beberapa suami sekaligus
3.      Pernikahan kelompok dalam bahasa inggris marriage yaitu kombinasi antra poligini dan poliandri. Pada umumnya masyarakat lebih mengenal poligami dibanding dengan poligini, hal ini sejalan dengan daces dan trayes yang tidak menggunakan lagi istilah poligami dalam pembagian tipe pemikiran, namun mereka menggunakan istilah poligami.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan Negara-negara yang memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
B.     Konsep Poligami Dalam Hukum Islam
Syariat islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami kwatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhi hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikahi sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia kwatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 3 yang artinya :dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak budak yag kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Juga disebutkan : dari Abi Hurairah R.a sesungguhnya Nabi Saw bersabda, “ barang siapa yang  mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka ia akan dating di hari kiamat nani dengan punggung miring “. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Hibban)
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat Al-Nisa 129:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.
Abi bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi tidak begitu bergairah dengan istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karen itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
Aisyah Ra berkata :
Rasullullah Saw. selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “ Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku tidak menguasai”, yaitu hati. (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu Majah).
Menurut sebagian ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.
Jika suami melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan undian. Dalam hal ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang mendapat giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hak hibah dalam hal harta benda.
Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya bepergian, maka hari-hari yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran, dan masa banyak.
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di samping itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang memperbolehkan istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain.
C.    Hukum Poligami Dalam Perspektif Islam
Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-azhar di Mesir, hukum poligami adalah mubah, yakni dibolehkan, selama tidak dikwatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri satu orang saja. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, yaitu penganiayaan terhadap para istri.
Zamahsyari, dalam kitabnya tafsir Al-kasysyaf mengatakan, poligami menurut syariat islam adalah merupakan suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat, sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan berbuka puasa pada  bulan ramadhan ketika dalam perjalanan.
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa haram berpoligami, bagi orang yang merasa khawatir akan tidak berlaku adil. Ayat surat An-nisa tersebut dipahami oleh mayoritas muslimin semenjak masa hidup rasulullah sampai kepada masa para ulama mujtahidin, bahkan para mufassir kontemporer seperti yang telah disebutkan, dapat dirumuskan hukum-hukum sebagai berikut dan sekaligus sebagai tanggapan terhadap permohonan uji UUP No. 1 tahun 1947.
1.      Kata “fankihu” dalam ayat 3 surat An-Nisa yang artinya, maka menikahlah kalian. Walaupun kata itu berbentuk perintah, namun maksudnya hanyalah berarti boleh dan bukan bermaksud wajib yang apabila tidak dikerjakan, akan berdosa, tetapi hanya sebagai alternatif untuk menghindari perkawinan dengan anak yatim dalam asuhan walinya yang tidak memberikan mahar dan nafkah yang layak, padahal ia mampu, karena ia menikah perempuan yatim tersebut hanya mengharapkan hartanya sesuai dengan sebab nuzul ayat itu seperti yang disebutkan oleh siti Aisyah, istri Rasulullah Saw. Karena itu maka turunlah ayat 3 surat An-Nisa.
2.      Ayat 3 surat An-Nisa itu juga mempunyai pengertian bahwa dibolehkannya poligami dengan adanya syarat kemampuan untuk memberi nafkah dan lain-lain yang dibutuhkan oleh istri-istri dan anak-anak, berdasarkan firman Allah dalam ayat tersebut “alla ta’uuluu” yang berarti agar kamu tidak mempunyai anak (keluarga) yang banyak. Dengan demikianlah penafsiran imam Syafi’I dalam kitabnya ahkam alquran, yang merupakan kumpulan dari pendapat-pendapat imam Syafi’i. Maksud “alla ta’uuluu” menurut Syafi’I ialah agar kamu jangan sampai mempunyai anak (keluarga) yang banyak yang menjadi tanggungan kamu, lebih dari tanggungan itu jika kamu hanya menikah dengan seorang istri, walaupun kamu diperbolehkan menikah dengan lebih dari satu (berpoligami).
Maka secara tidak langsung, ayat 3 surat An-Nisa itu memberi isyarat bahwa kemampuan untuk memberi nafkah dan lain-lain yang diperlukan dalam rumah tangga hendaklah dimiliki oleh siapa yang hendak berpoligami. Ini merupakan sanggahan kepada pemohon yang mengatakan bahwa adanya kemampuan sebagai salah satu syrat diperbolehkannya poligami seperti yang disebutkan dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 5 ayat (1) huruf b, yaitu: adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, itu merugikan pemohon khususnya dan umat islam pada umumnya, karena pasal ini merupakan perwujudan dari kesewenang-wenangan untuk menghambat atau memersulit permohonan berpoligami. Syarat kepastian bisa menjamin nafkah jelas tidak ada dalam aturan Islam karena yang menjamin rezeki istri dan anak itu Tuhan bukan manusia. Ungkapan permohonan dapat dijawab, bahwa kata “alla ta’uulu” yang telah ditafsirkan di atas merupakan dalil Alquran tentang perlu adanya syarat kemampuan memberi nafkah kepada istri-istri dan anal-anak jika hendak berpoligami.
Kalau pemohon mengatakan bahwa persyaratan boleh poligami dengan syarat yang sangat ketat dalam UUP No. 1 tahun 1974 tersebut adala melanggar hak asasi permohonan, karena menghambat permohonan untuk beribadah, perlu diketahui oleh pemohon, bahwa beribadah itu ada aturannya-aturannya.
Kalau pemohon mengatakan bahwa berpoligami itu masalah pribadi dan terkait dengan kebebasan beragama dan hak asasi, yang karena itu Negara tidak boleh berintervensi, pandangan seperti ini dapat ditolak, karena menunaikan ibadah haji juga adalah urusan pribadi, tetapi Negara/pemerintah intervensi dalam pelaksanaannya demi kemashalatan warga Negara Indonesia yang melaksanakannya.
Demikian pulalah halnya poligami karena akibatnya banyak menyengsarakan dan melantarkan anak dan istri, dimana yang demikian itu melanggar hakasasi istri dan anak-anak, maka pemerintah perlu membuat undang-undang yang dapat mengatur masalah poligami. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan UUP No. 1 Tahun 1974 sebagai pedoman dalam pelaksanaan perkawinan demi kemaslahatan warga negaranya. Oleh sebab itu sebagai warga Negara yang baik harus mematuhi undang-undang dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kebolehan poligami hanya sebagai alternatif atau karena darurat. Kalau seseorang dilarang untuk berkeluarga/menikah, itu melanggar hak asasi karena dapat menyeretnya kepada perbuatan zina dan mengembangkan keturunan sehingga tidak dikenakan syarat harus mampu, tetapi berpoligami tidak dibolehkan secara mutlak. Sudah disyaratkan harus mampu (secara fisik dan ekonomi) karena sudah ada istri dan dengannya ia sudah terhindar dari perbuatan zina. Seseorang tidak bisa berlaku adil jika tidak memiliki kemampuan memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anak. Boleh berpoligami, dengan syarat adil, sedangkan sudah mampu, belum tentu seseorang dapat berlaku adil dalam berpoligami.
Kalau berpoligami itu dianggap sebagai ibadah, maka masih banyak ibadah-ibadah yang lain yang dapat dikerjakan lebih besar pahalanya dan tidak ada resiko, seperti memperbanyak shalat tahajud, shalat witir, shalat dhuha, puasa sunah, dan lain-lain, bukannya berpoligami yang nanti membawa resiko yang akan dipertaggung jawabkan di dunia dan di akhirat jika tidak bisa berlaku adil.















BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dalam Islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan.
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang  kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.
Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

B.                 Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami menelaah hal yang memang patut kita jalani dalam hidup tentunya yang berkenaan dengan hal diatas. Jadi baiknya kita sebagai warga Indonesia yang muslim mempedomani UU Nomor 1 tahuhn 1974 dan KHI agar mempermudah kita menerapkan hukum islam.
Serta merta dalam penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan dan kelemahan maka dari itu untuk ke depannya agar dapat lebih baik kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Raffiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2006, Cetakan ke 6
Harbert Sebenser, Ilmu Masyakat. Jakarta:Karya Anda, 2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Bandung: Alma’arif, 2008. Cetakan XX
Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Cetakan ke II
Rosyidah Nur Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia . Bandung: Mizan, 2005
Tim Redaksi Pustaka Pustisia, Hukum Keluarga, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010. Cetakan pertama
Tahido yanggo, huzaemah. 2010. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia

Hukum Poligami dalam Prespektif Islam 4.5 5 aaaaa Jumat, 06 Juni 2014 HUKUM POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM MAKALAH BAB I PENDAULUAN A.                 Latar Belakang Dilatar belakangi oleh maraknya poligami di...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Product :
J-Theme