• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Paper Filsafat Pendidikan

 on Jumat, 06 Juni 2014  

PERANAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN
PAPER

PENDAHULUAN

Istilah filsafat berasal dari dua suku kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu phile atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atausophos yang berarti kebijaksanaan. Kedua suku kata tersebut membentuk kata majemuk philosophia. Dengan demikian, berdasarkan asal usul philosophia (filsafat) berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Karena istilah philosophia dalam bahasa Indonesia identik dengan istilah filsafat, maka untuk orangnya, yaitu orang yang mencintai kebijaksanaan disebut filsuf.
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Di zaman Yunani, filsafat bukan merupakan suatu disiplin teoritis dan spesial, akan tetapi suatu cara hidup yang kongkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan tentang alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema yang di hadapinya, pengertian yang bersifat teoritis seperti yang di lahirkan filsafat Yunani itu kehilangan kemampuan untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.
Perubahan itu mendorong manusia memikirkan kembali pengertian tentang kebenaran. Sebab setiap terjadi perubahan dalam peradaban akan berpengaruh terhadap sistem nilai yang berlaku, karena antara perubahan peradaban dengan cara berfikir manusia terdapat hubungan timbal balik.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik. Karenanya pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan, melalui filsafat kependidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Filsafat pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik, adapun alasannya antara lain: Pertama , karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat  normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat bersumber dari filsafat.  Filsafat pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan.
Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan secara holistik dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dan sebagainya. Namun demikian, bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila.
Sehubungan dengan hal ini  berbagai aliran filsafat pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai aliran filsafat pendidikan akan dapat membantu pendidik untuk tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain.
Di samping  itu,  sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filsafat pendidikan kita. Dengan memahami landasan filsafat pendidikan diharapkan tidak  terjadi kesalahan konsep tentang pendidikan yang akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.    
Paper ini akan membantu Anda untuk memahami pengertian filsafat, pengertian filsafat pendidikan dan konsep filsafat pendidikan menurut berbagai aliran filsafat. Adapun aliran filsafat yang dimaksud yaitu: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dan  filsafat pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila. Lebih khusus lagi paper ini akan membantu pendidik untuk memahami implikasi konsep filsafat umum setiap aliran filsafat terhadap konsep pendidikan.




PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Karakteristik Filsafat
Definisi Filsafat secara Etimologis. Istilah filsafat (Inggris: philosophy; Arab: falsafah) berasal dari dua  kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu philein atau philos yang  berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau sophos yang berarti kebijaksanaan Dengan demikian, secara etimologis philosophia (filsafat) berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan.  
Dalam tradisi Yunani Kuno istilah filsafat telah digunakan. Sekitar abad keenam sebelum masehi, Pythagoras (580-500 SM) telah menggunakannya. Berkenaan dengan pengertian istilah philosophia  Phythagoras  pernah menyatakan bahwa dirinya bukanlah orang yang bijaksana, melainkan seorang filsuf atau seorang yang mencintai kebijaksanaan (Dagobert D. Runes, 1981).  Demikian pula Socrates (470-399 SM), sebagaimana tercatat dalam  salah satu tulisan Plato yang berjudul Phaedrus, Socrates dengan rendah hati menyatakan tentang filsuf sebagai berikut: “Tak akan kusebut arif bijaksana mereka itu (maksudnya: filsuf), karena sebutan demikian itu hanya berlaku bagi Tuhan; lebih suka aku menamakan mereka (para filsuf) sahabat-sahabat kebijaksanaan; begitulah gelar yang bersahaja bagi mereka” (Fuad Hassan, 1986). 
Rasa cinta kepada kebijaksanaan yang ada pada diri filsuf diwujudkan oleh para filsuf melalui berbagai perbuatan, yaitu: (1) berfikir secara radikal/kontemplatif untuk mengetahui kebenaran atau hakikat segala sesuatu; (2) Mengamalakan kebenaran; (3) Mengajarkan kebenaran; dan (4) Berjuan mempertahankan keberanan dengan penuh pengorbanan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Socrates dan Pythagoras.
Definisi Filsafat secara Operasional. Ada diantara para ahli yang mendefinisikan filsafat  dari segi proses berpikirnya,  dan ada pula yang mendefinisikan filsafat  dari segi hasil berpikir (hasil  berpikir para filsuf). Namun demikian, dalam rangka membangun pengertian filsafat,  antara keduanya itu (filsafat sebagai proses dan filsafat sebagai hasil) sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Sebagai suatu proses berpikir,    filsafat  dapat didefinisikan sebagai  suatu proses berpikir  reflektif sistematis dan  kritis kontemplatif untuk menghasilkan sistem pikiran atau sistem teori tentang hakikat segala sesuatu secara komprehensif. Sejalan dengan ini Titus dkk. (1979) mengemukakan bahwa:  Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah metode atau cara berpikir reflektif dan penyelidikan melalui menalar). 
Sebagai suatu hasil berpikir, filsafat dapat didefinisikan sebagai  sekelompok teori atau sistem pikiran. Titus dkk., (1979) merumuskannya dalam kalimat: “Phylosophy is a group of theories or systems of thougt”. Hasil  berfilsafat yang telah dilakukan oleh para filsuf tiada lain adalah sistem teori atau sistem pikiran mengenai segala sesuatu. Sistem teori atau sistem pikiran ini  tentunya sudah ada atau sudah tergelar di dalam kebudayaan umat manusia. Kita dapat menemukannya dalam bentuk tulisan atau buku,  puisi, dsb, sebagaimana  telah dihasilkan oleh para filsuf besar seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Iqbal, Alghazali,  John Dewey, John Locke, dsb.  Dengan redaksi lain, filsafat sebagai hasil berpikir dapat didefinisikan sebagai suatu sistem teori atau sistem pikiran tentang hakikat segala sesuatu yang bersifat komprehensif, yang diperoleh melalui berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif. 
Definisi Filsafat Secara Leksikal. Ditinjau secara leksikal, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa filsafat berarti sikap hidup atau pandangan hidup (Balai Pustaka, 2005). Kita sering atau mungkin pernah mendengar pernyataan berikut ini: “filsafat hidup saya adalah ….”, atau “Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia”. Istilah filsafat dalam pernyataan-pernyataan tadi memiliki arti sebagai sikap hidup atau pandangan hidup. 
Dalam pengertian di atas, setiap orang baik secara individual maupun secara kelompok tentu memiliki filsafatnya masing-masing. Adapun  filsafat tersebut akan tercermin di dalam pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatannya. Contoh: Orang yang apabila bepergian ke luar rumah selalu membawa senjata tajam untuk membela diri, mencerminkan sebagian kecil dari keseluruhan pandangan hidupnya. Orang tersebut memiliki pandangan  bahwa alam di luar dirinya berbahaya dan memusuhinya, sebab itu hendaknya selalu waspada untuk mempertahankan diri atau untuk membela diri. 
Sebagai sikap hidup atau pandangan hidup, filsafat tentunya bukan slogan-slogan yang tidak diyakini kebenarannya dan tidak dijadikan dasar tindakan atau perbuatan dalam hidup sehari-hari. Sebaliknya, bahwa sikap hidup dan pandangan hidup itu sudah diyakini kebenarannya dan dijadikan dasar tindakan dalam hidup sehari-hari. 
Filsafat sebagai sikap hidup dan pandangan hidup dapat dimiliki seseorang secara alamiah melalui pengalaman hidup bersama di dalam masyarakatnya. Sikap hidup atau pandangan hidup itu dimiliki melalui pengalaman yang    relatif tidak disadari secara rasional dan diperoleh tidak dengan cara-cara berfilsafat. Sebaliknya, filsafat sebagai sikap hidup atau pandangan hidup itu  dapat pula dimiliki seseorang melalui cara-cara belajar yang disadari misalnya melalui belajar tentang filsafat. Dengan mempelajari filsafat, seseorang atau suatu kelompok masyarakat atau bangsa  akan dapat membangun sikap hidup atau pandangan hidupnya. Selain itu, filsafat sebagai sikap hidup atau pandangan hidup bahkan dapat pula dimiliki seseorang melalui berfilsafat sebagaimana telah dilakukan oleh para filsuf. 
Karakteristik Filsafat.  Dapat didentifikasi  enam hal berkenaan dengan karakteristik filsafat, yaitu objek yang dipelajari filsafat (objek studi), proses berfilsafat (proses studi), tujuan berfilsafat, hasil berfilsafat (hasil studi),  penyajian dan sifat kebenarannya.  Objek studi filsafat adalah segala sesuatu  , meliputi segala sesuatu yang telah tergelar dengan sendirinya (ciptaan Tuhan)  maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi manusia. Namun demikian dari segala sesuatu tersebut hanya yang bersifat mendasarlah yang dipelajari atau dipertanyakan dan dipikirkan oleh para filsuf. Pendek kata objek studi filsafat bersifat komprehensif mendasar .
Proses studi atau proses berfilsafat  dimulai dengan ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Sehubungan dengan itu dalam berfilsafat para filsuf tidak  berpikir dengan bertolak kepada suatu asumsi yang telah ada, sebaliknya mereka menguji asumsi yang telah ada. Selain itu, berpikir filosofis atau berfilsafat bersifat  kontemplatif ,  artinya  berfikir untuk mengungkap hakikat dari sesuatu yang difikirkan, atau berfikir spekulatif yakni berfikir melampauai fakta yang ada untuk mengungkap apa yang ada di balik yang nampak, atau disebut pula berfikir radikal, yaitu berfikir sampai kepada akar dari sesuatu yang dipertanyakan hingga terungkap hakikat dari apa yang dipertanyakan tersebut. Adapun dalam rangka mengungkap hakikat sesuatu yang dipertanyakannya itu para filsuf berfikir secara sinoptik, yaitu berfikir dengan pola  yang bersifat merangkum keseluruhan tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipertanyakan, pola berfikir ini merupakan kebalikan dari pola berfikir analitik. Perlu dipahami pula bahwa dalam berfikirnya itu para filsuf melibatkan seluruh pengalaman insaninya sehingga bersifat subjektif . 
Tujuan para filsuf berpikir  sedemikian rupa   mengenai apa yang dipertanyakannya tiada lain adalah untuk memperoleh kebenaran. Adapun hasil berfilsafat adalah berwujud system teori, system pikiran atau system konsep yang bersifat normative atau preskriptif dan individualitistik-unik . Hasil berfilsafat  bersifat normatif atau preskriptif artinya bahwa system gagasan filsafat menunjukkan tentang apa yang dicita-citakan atau apa yang seharusnya. Sedangkan individualistik-unik artinya bahwa system gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan berbeda dengan system gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Ini mungkin terjadi antara lain karena sifat subjektif dari proses berfikirnya yang melibatkan pengalaman insani masing-masing filsuf. Sebab itu, maka kebenaran filsafat bersifat subjektif-paralelistik , maksudnya bahwa suatu system gagasan filsafat adalah benar bagi filsuf yang bersangkutan atau bagi para penganutnya; antara system gagasan filsafat yang satu dengan system gagasan filsafat yang lainnya tidak  dapat saling menjatuhkan mengenai kebenarannya. Dengan kata lain, bahwa masing-masing aliran filsafat memiliki kebenaran yang berlaku dalam relnya masing-masing. Adapun hasil berfilsafat tersebut disajikan para filsuf secara tematik sistematis dalam bentuk naratif  (uraian lisan/tertulis) atau profetik (dialog/tanya jawab lisan/tertulis). 
Sistematika/Cabang-cabang Filsafat.  Berdasarkan objek yang dipelajarinya filsafat dapat diklasifikasi ke dalam: 1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan (Redja Mudyahardjo, 1995). 
Cabang Filsafat Umum terdiri atas: 
a.  Metafisika yang meliputi: (1) Metafisika Umum atau Ontologi, dan (2) Metafisika Khusus yang meliputi cabang: (a)  Kosmologi,  (b) Teologi, dan (c) Antropologi. 
b.  Epistemologi.
c.  Logika.
d.  Aksiologi yang meliputi cabang: (1)  Etika dan (2) Estetika.
Adapun cabang Filsafat Khusus antara lain: (1) Filsafat Hukum, (2) Filsafat Ilmu, (3) Filsafat Pendidikan, dsb.
Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala sesuatu yang ada) secara menyeluruh (komprehensif). 
Ontologi adalah cabang filsafat (metafisika umum) yang mempelajari atau membahas tentang hakikat ada-nya segala sesuatu yang ada secara komprehensif. Contoh tentang apa yang dibahas atau dipermasalahkan di dalam Ontologi antara lain: apakah hakikat yang ada (realitas) itu bersifat material atau ideal?  Apakah hakikat yang ada itu bersifat tunggal, dua, atau plural?   Apakah yang ada itu menetap atau berubah? Dsb. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentunya tidak satu, melainkan berbeda-beda. 
Kosmologi adalah cabang filsafat (bagian metafisika khusus) yang mempelajari atau membahas tentang hakikat alam termasuk segala isinya, kecuali manusia. 
Teologi adalah cabang filsafat (bagian dari metafisika khusus) yang mempelajari atau membahas tentang keberadaan Tuhan. Dalam teologi permasalahan tentang keberadaan Tuhan ini dibahas secara rasional  terlepas dari kepercayaan agama. Misalnya:  pengakuan akan adanya Tuhan itu bukan atas dasar keimanan, melainkan atas argumentasi rasional. Contohnya “Argumen Kosmologi” yang menyatakan bahwa: segala  sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya.
Sebaliknya, Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai "Pribadi" atau "Khalik", yaitu Tuhan 
Antropologi adalah cabang filsafat (bagian metafisika khusus) yang mempelajari atau membahas tentang hakikat manusia. Persoalan yang dibahas dalam antropologi antara lain: siapakah manusia itu, ciptaan Tuhan atau muncul dari alam sebagai hasil evolusi? Apakah yang hakiki pada manusia itu badannya atau jiwanya? Bagaimanakah hubungan antar badan dan jiwa?  Bagaimanakah hubungan manusia dengan tuhannya, dengan alam, dengan sesamanya, dsb. 
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari  atau membahas tentang hakikat pengetahuan. Persoalan yang dibahas dalam epistemology antara lain mengenai sumber-sumber pengetahuan, cara-cara memperoleh pengetahuan, kriteria kebenaran pengetahuan, dsb.
Logika adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang asas-asas, aturan-aturan, prosedur dan kriteria  penalaran (berpikir) yang benar. Logika antara lain membahas tentang bagaimana cara berpikir yang tertib agar kesimpulan-kesimpulannya benar. 
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang hakikat nilai. Aksiologi terdiri dari Etika adalah cabang filsafat (bagian aksiologi) yang mempelajari atau membahas tentang hakikat baik jahatnya perbuatan manusia; dan
Estetika adalah cabang filsafat (bagian aksiologi) yang mempelajari atau membahas tentang hakikat seni ( art ) dan keindahan ( beauty ).
Aliran Filsafat. Sebagaimana dapat dipahami dari uraian dimuka, bahwa karakteristik berpikir para filsuf yang bersifat kontemplatif dan subjektif telah menghasilkan system gagasan yang bersifat individualistik-unik. Namun demikian, dalam peta perkembangan system pikiran filsafat para ahli filsafat menemukan kesamaan dan konsistensi pikiran dalam bentuk beberapa aliran  pikiran dari para filsuf tertentu. Dengan demikian, maka dikenal adanya berbagai aliran filsafat seperti Idealisme, Realisme, Pragmatisme,  dsb.   

B.     Defisini dan Karakteristik Filsafat Pendidikan
Definisi Filsafat Pendidikan. Landasan filosofis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.  Struktur Filsafat Pendidikan. Filsafat pendidikan sesungguhnya merupakan suatu sistem gagasan tentang pendidikan yang dideduksi atau dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat umum (Metafisika, Epistemologi, Aksiologi) yang dianjurkan oleh suatu aliran filsafat tertentu. Hal ini dapat dipahami sebagaimana disajikan oleh Callahan and Clark (1983) dalam karyanya  “Foundations of Education”, dan sebagaimana disajikan Edward J. Power (1982) dalam karyanya Philosophy of Education, Studies in Philosophies, Schooling and Educational Policies. 
Berdasarkan kedua sumber di atas dapat Anda pahami bahwa terdapat hubungan implikasi antara gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan-gagasan pendidikan. Hubungan implikasi antara gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan pendidikan tersebut dapat divisualisasikan seperti berikut ini:
BAGAN  IMPLIKASI KONSEP FILSAFAT UMUM
TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN
  
          KONSEP FILSAFAT UMUM                        KONSEP PENDIDIKAN 
        - Hakikat Realitas                                               - Tujuan Pendidikan
        - Hakikat Manusia                                               - Kurikulum Pendidikan
        - Hakikat Pengetahuan                                        - Metode Pendidikan
        - Hakikat Nilai                                                                - Peranan Pendidik dan  Peserta Dididik  
Karakteristik Filsafat Pendidikan. Filsafat pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau preskriptif. Filsafat pendidikan dikatakan bersifat normatif atau preskriptif, sebab landasan filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa. Filsafat Pendidikan adanya (faktual), melainkan berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal), yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan/atau studi pendidikan. 
Aliran dalam Filsafat Filosofis  Pendidikan. Sebagaimana halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan filsafat pendidikan juga terdapat berbagai aliran.  Sehubungan dengan ini dikenal adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, landasan filosofis pendidikan Realisme, landasan filosofis pendidikan Pragmatisme, dsb. 

C.    Tujuan Filsafat Pendidikan
Adapaun 4 Tujuan Filsafat Pendidikan menurut Edward J. Power, sebagai berikut:
1.             Tujuan Filsafat Pendidikan Inspirational
Adalah “ to express utopian ideals for the formal and informal education of human beings” Atau artinya adalah untuk mengekspresikan tentang pendidikan yang ideal atau pendidikan yang dicita-citakan.
Contoh tujuan filsafat pendidikan inspirationalantara lain sebagaimana tercermin dalamm filsaat pendidikan Plato yang termuat dalam karyanya yang berjudul “Republik”Plato mengekspresikan suatu model pendidikan yang dicita-citakan atau diidamkan dalam ragka mendidik manusia agar menjadi warga Negara yang cakap, bertanggung jawab, dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sesuai dengan statusnya dan tingkat kebajikan yang dapat disumbangkannya kepada Negara idaman.
Selain Plato, J.J Rousseau dalam bukunya “Emile”mengekspresikan tentang pendidikan yang diidamkan dan dicita-citakan dalam rangka mendidik anak laki-laki. Rouseau mengemukakan bahwa: “segala sesuatu yang dating dari tangan Tuhan pada awalnya adalah baik, tetapi segala sesuatu menjadi rusak Karena tangan manusia ”.
2.             Tujuan Filsafat Pendidikan Analytical
Adalah “to descover and interpret meaning in educational discourse and practice”  atau artinya adalah tujuan filsafat pendidikan tiada lain untuk menemukan dan menginterpretasi makna perkataan atau tulisan mengenai konsep pendidikan dan praktek pendidikan.
Contoh tujan filsafat pendidikan yang bersifatanalytical antara lain sebagaimana tercermin dalam filsafat pendidikan dikemukakan oleh Israel scheffler’s berjudul “the language of education”. Edwar J Power mengemukakan bahwa: bahwa di Amerika serikat karya Israel Schelffer’s dalam karyanya “the language of education” merupakan sebuah essei filsafat pendidikan yang representative yang bertujuan analytical.  Scheffler’s menggunakan analisis linguistic untuk menemukan kejelasan idea-idea atau konsep-konsep dalam literature pendidikan.
3.             Tujuan Filsafat Pendidikan yang Bersifat Presfective
Adalah “to give clear and precise directions for educational practice with a commitment to their implementation” atau tujuan filsafat pendidikan yang bersifat prespektif tiada lain untuk memberikan kejelasan da arah yang tepat bagi praktek pendidikan dengan suatu komitmen untuk mengimplimentasikannya. Tujuan filsafat pendidikan adalah memberikan petunjuk tentang tujuan dan cara-cara pendidikan yang seharusnya untuk dapat diimplimentasikan.
Contoh tujuan filsafat pendidikan yang bersifat prespectiveantara lain sebagaimana tercermin dalam filsafat pendidikan dari Herbart dalam karyanya “the science of education”; Hutchin dalam karyanya “The higher learning in america”; dan Maritain dalam karyanya “education and the crossroads”.Filsafat pendidikan Herbart antara lain memberikan petunjuk bahwa: moralitas adalah satu dan keseluruhan pekerjaan pendidikan dan Herbart juga memberikan petunjuk bahwa mengajar hendaknya didasarkan pada minat dan tahapan yang runtut dan jelas. Menurutnya bahwa metode pendidikan hendaknya didasarkan kepada psikologi.
4.             Tujuan Filsafat Pendidikan yang Bersifat Investigationsdan Inquiry
Adalah “to inquire into policies and practices adopted in education with a view to either justification or reconstrucction” atau tujuan filsafat pendidikan yang bersifat investigasi dan inkuiri adalah untuk menyelidiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek pendidikan untuk menjastifikasi atau merekontruksikannya kembali.
Contoh Tujuan filsafat pendidikan yang bersifat investigasi dan inkuiritercermin dalam filsafat pendidikan Jhon Dewey dalam karyanya berjudul “Democracy and Education

D.    Sifat Komprehensif Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan berfungsi memberikan wawasan yang bersifat komprehensif mengenai hakikat pendidikan. Adapun gambaran konkrit sifat “komprehensif” filsafat pendidikan dalam memandang persoalan kehidupan manusia sebagai individu yang akan terus belajar sepanjang hayatnya dapat kita lihat ketika seorang mahasiswa dari jurusan kependidikan yang ketika itu diberikan mata kuliah filsafat pendidikan maka akan timbul pertanyaan mengapa harus mempelajarinya dan fungsinya apa ? Dan itu menandakan bahwa mahasiswa tersebut memandang belajar untuk hidup dan lebih spesifiknya lagi adalah memandang belajar filsafat pendidikan untuk praktek pendidikan dan studi pendidikan.
Tetapi ketika ada seorang mahasiswa dengan jurusan yang sama diberikan mata kuliah tersebut dan mempelajarinya hanya atas dasar untuk memenuhi kewajiban dalam menempuh SKS atau ketentuan kurikulum yang ada atau bahkan mahasiswa tersebut mempelajarinya hanya untuk mengisi waktu luang agar ada kesibukan semata, maka tidak akan pernah muncul pertanyaan seperti mahasiswa yang pertama dan pandangannya bukanlah belajar untuk hidup melainkan hidup untuk belajar atau belajar hanya sekedar mengisi waktu dalam hidup. Kita memang harus mengetahui fungsi filsafat pendidikan, pandangan tersebut paling tidak akan memberikan wawasan dan motivasi bagi yang mempelajarinya agar dapat bersungguh-sungguh, mengambil hikmah dari yang dipelajari dan mau mengamalkan seta melaksanakan dalam praktek pendidikan jika sudah mengerti secara menyeluruh.
Sebagaimana yang telah kita pahami filsafat pendidikan merupakan aplikasi dari filsafat umum yang tujuannya untuk memecahkan masalah pendidikan. Di dalam filsafat pendidikan antara ain dikaji mengenai makna hakikat realitas, hakikat pengetahuan, hakikat nilai dan hakikat keberadaan manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada. Pencarian tujuan pendidikan yang bijaksana dan konsisten adalah salah satu tugas dari filsafat pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan berfungsi memberikan pedoman ke mana pendidikan seharusnya di arahkan, yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan.

E.     Fungsi Filsafat Bagi Pendidik (Guru)
Sejak awal perkembangan, filsafat berperan memberikan pengertian dan menjadi pedoman bagi manusia dalam usaha memahami hakikat sesuatu . Ajaran filsafat telah membantu dalam memberikan jawaban-jawaban atas problema-problema mendasar dalam alam pikiran dan alam kehidupan manuisa .
Adapun fungsi filsafat pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.      Fungsi spekulatif yang ditujukan untuk lebih memahami hakikat sesuatu. Misalnya mengenai persolan-persoalan pendidikan secara komprehensif.
2.      Fungsi Normatif yaitu proses temuan norma -norma kehidupan yang bersumber pada dasar-dasar filsafat hidup yang dimilikinya.
3.      Fungsi Kritik yaitu memberikan dasar pertimbangan dan menafsirakan data yang bersifat ilmiah.
4.      Fungsi Toeri bagi praktek, semua ide,konsepsi, kesimpulan-kesimpulan
5.      Fungsi Integratif sering digunakan untuk memadu semacam nilai dan azas-azas normatife dalam ilmu pendidikan . 
F.     Konsep Umum Filsafat
1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Metafisika : Hakikat Realitas. Di alam semesta dapat kita temukan berbagai hal, seperti batu, air, tumbuhan, khewan, manusia, gunung, lautan, speda motor, buku, kursi, tata surya, dsb. Selain itu, kita juga mengenal apa yang disebut jiwa, spirit,  ide, dsb. Segala hal yang ada di alam semesta itu disebut realitas (reality) . Sesuai dengan sifat berpikirnya yang radikal, para filsuf mempertanyakan apakah sesungguhnya (hakikat) realitas itu? Jawaban mereka berbeda-beda sesuai dengan titik tolak berpikir, cara berpikir dan tafsirnya masing-masing. 
Menurut para filsuf Idealisme,  hakikat realitas  bersifat spiritual daripada bersifat fisik, atau bersifat mental daripada bersifat  material. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa dunia yang kita lihat, kita sentuh dan kita alami melalui indera bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan (a copy world);  dunia yang sesungguhnya adalah dunia idea-idea (the world of “ideas”). Karena itu Plato disebut sebagai seorang Idealist (S.E. Frost Jr., 1957). 
Menurut penganut Idealisme, realitas diturunkan dari suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/spirit/roh. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran/jiwa/roh . Contoh: Kursi yang sesungguhnya bukanlah bersifat material, sekalipun Anda menemukan kursi yang tampak bersifat material, namun  hakikat kursi adalah spiritual/ideal, yaitu ide tentang kursi.  Pada tingkat universal (alam semesta), pikiran-pikiran  yang terbatas hidup dalam suatu dunia yang bertujuan yang dihasilkan oleh suatu pikiran  yang tak terbatas atau yang Absolut. Seluruh alam semesta diciptakan oleh suatu pikiran atau roh yang tak terbatas. Karena itu,  segala sesuatu dan kita (manusia) merupakan bagian kecil dari pikiran atau roh yang tak terbatas (Callahan and Clark, 1983). Pandangan metafisika Idealisme  diekspresikan Parmenides dengan kalimat: “What cannot be thought cannot be real”/ Apa yang tidak dapat dipikirkan tidaklah nyata. Schoupenhauer mengekspresikannya dengan pernyataan  “The world is my idea” / Dunia adalah ideku (G.F. Kneller, 1971). Sebab itu, keberadaan (eksistensi)  sesuatu tergantung kepada pikiran/jiwa/spirit/roh. 
Hakikat Manusia. Sejalan dengan gagasan di atas, menurut para filsuf Idealisme  bahwa manusia hakikatnya  bersifat spiritual atau kejiwaan.  Pribadi manusia digambarkan  dengan kemampuan kejiwaannya (seperti: kemampuan berpikir, kemampuan memilih, dsb). Manusia hidup dalam dunia dengan suatu aturan moral yang jelas-yang diturunkan dari yang Absolut. Karena manusia merupakan bagian dari alam semesta  yang bertujuan, maka manusia pun merupakan makhluk yang cerdas dan bertujuan. Selain itu, karena “pikiran manusia diberkahi  kemampuan rasional, maka ia mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan, ia adalah makhluk yang bebas” (Edward J. Power, 1982). 
            Hakikat manusia bersifat spiritual atau kejiwaan. Berkenaan dengan ini setiap manusia  memiliki bakat kemampuannya masing-masing yang mengimplikasikan status atau kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat/negara. Kita ambil contoh dari teori Plato tentang tiga bagian jiwa (Plato’s tripartite theory of the soul) : Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa, yaitu:  nous (akal, fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos  (semangat atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu).  Pada setiap orang, dari ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul salah satunya yang dominan. Sehingga: pertama, ada orang yang dominan bakat kemampuan berpikirnya; kedua, ada yang dominan keberaniannya,  dan ketiga ada  yang dominan keinginan/nafsunya. Atas dasar ini, Plato mengklasifikasi manusia di dalam negara berdasarkan bakat kemampuannya tersebut, yaitu: pertama, kelas counselors (kelas penasihat atau pembimbing / pemimpin), yaitu para cendekiawan atau para filsuf; kedua, kelas the state-assistants / guardians (kelas pembantu/penjaga) yaitu kelompok militer; dan ketiga, kelas money makers (kelas karya/penghasil) yaitu para petani, pengusaha, industrialis, dsb. Namun demikian klasifikasi manusia tersebut bukanlah kasta yang secara turun temurun tidak dapat berubah. Apabila seseorang dari kelas tertentu - misalnya: dari kelas karya - ternyata memiliki bakat yang sesuai dengan bakat dalam kelas penjaga atau pembimbing, maka ia harus segera pindah ke kelas yang sesuai dengan bakatnya itu, demikian pula sebaliknya. Selain itu, Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa manusia dengan empat kebajikan pokok (cardinal virtues) sebagai moralitas jiwa (soul’s morality) , yaitu: kebijaksanaan/kearifan, keperkasaan, pengendalian diri, dan keadilan. Pikiran/akal dihubungkan dengan kebijaksanaan/kearifan yang harus menjadi  moralitas jiwa kelas counselor/ pembimbing/ pemimpin; keberanian dihubungkan dengan keperkasaan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas militer / penjaga (guardians) , nafsu dihubungkan dengan pengendalian diri yang harus menjadi moralitas jiwa kelas karya/penghasil.Adapun keadilan harus menjadi moralitas jiwa semua orang dari kelas manapun agar keselarasan dan kesimbangan tetap terpelihara dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat Anda simpulkan bahwa hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berpikir, mampu memilih atau bebas, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai dengan bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh Yang Absolut. 
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Proses mengetahui terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan  melalui berpikir.  Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan melalui  intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Plato adalah salah seorang penganut pandangan ini. Ia sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan asumsi bahwa spirit/jiwa manusia bersifat abadi, yang mana  pengetahuan sudah ada di dalam spirit/jiwa sejak manusia dilahirkan.  
Bagi penganut Idealisme Objective seperti Plato,  ide-ide merupakan esensi yang keberadaannya bebas dari pendriaan. Sedangkan bagi penganut Idealisme Subjective  seperti   George   Barkeley,  bahwa manusia hanya dapat mengetahui  dengan apa yang ia persepsi. Karena itu, pengetahuan manusia hanyalah merupakan keadaan dari pikirannya atau idenya. Adapun setiap rangsangan yang diterima oleh pikiran  hakikatnya diturunkan  atau  bersumber  dari  Tuhan, Tuhan adalah Spirit Yang Tak Terbatas (Callahan and Clark, 1983). 
Sehubungan dengan hal di atas, kebenaran (pengetahuan yang benar) hanya mungkin didapat oleh orang-orang tertentu yang memiliki pikiran yang baik saja, sedangkan kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat” (Edward J. Power, 1982).
Adapun uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji konsistensi atau koherensi dari ide-idenya. Sebab itu teori uji keberanannya dikenal sebagai Teori Konsistensi/Teori Koherensi. Contoh: “Semua makhluk bersifat fana (dapat rusak atau mati), Iqbal adalah makhluk, sebab itu Iqbal akan mati”. Pengetahuan ini adalah benar, sebab ide-idenya koheren atau konsisten. “Jalan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat, Amin bunuh diri dengan jalan memutuskan urat nadinya, karena itu Amin  telah membunuh jalannya perekonomian masyarakat”. Pengetahuan  ini adalah salah, sebab ide-idenya tidak konsisten/tidak koheren.
Aksiologi: Hakikat Nilai . Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai-nilai bersifat  abadi. Menurut penganut Idealisme Theistik nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek diketahui setingkat dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan indah  yang absolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan alam. Nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah (abadi), sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat Anda simpulkan bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang bersumber dari Realitas yang Absolut. 
2. Filsafat Pendidikan Realisme
Metafisika: Hakikat Realitas .  Jika filsuf Idealisme menekankan pikiran.jiwa/spirit/roh sebagai hakikat realitas, sebaliknya menurut para filsuf Realisme   bahwa dunia terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang hadir dengan sendirinya (entity). Di dunia atau di alam tersebut terdapat hukum-hukum alam yang menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya dari alam itu sendiri (Callahan and Clark, 1983). Realitas hakikatnya bersifat objektif, artinya bahwa  realitas   berdiri sendiri, tidak tergantung atau tidak bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.   Namun demikian,  mereka tetap mengakui keterbukaan realitas terhadap pikiran untuk dapat mengetahuinya. Hanya saja realitas atau dunia itu bukan/berbeda dengan pikiran atau keinginan manusia. 
Hakikat Manusia .  Manusia adalah bagian dari alam, dan ia muncul di alam sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam.   Hakikat manusia didefinisikan sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran (jiwa) adalah suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Namun, sekalipun manusia mampu berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas (Edward J. Power, 1982). Manusia dan masyarakat adalah bagian dari alam. Karena di alam semesta terdapat hukum alam yang mengatur dan mengorganisasikannya, maka untuk tetap survive dan bahagia tugas dan tujuan manusia adalah menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum alam, masyarakatnya dan kebudayaannya. 
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan . Ketika lahir, jiwa atau pikiran  manusia  adalah  kosong. Saat dilahirkan manusia tidak membawa pengetahuan atau ide-ide bawaan,  John Locke mengibaratkan pikiran/jiwa manusia  sebagai tabula rasa (meja lilin/kertas putih yang belum ditulisi) .    Pengetahuan  diperoleh  manusia  bersumber dari pengalaman indra. Manusia dapat menggunakan pengetahuannya dalam berpikir untuk menemukan objek-objek serta hubungan-hubungannya yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983). Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara orang yang mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya, para filsuf
Realisme menganut  “prinsip independensi”  yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas.  Karena realitas bersifat material dan nyata, maka kebenaran pengetahuan diuji dalam kesesuaiannya dengan fakta di dalam dunia material atau pengalaman dria. Teori uji kebenaran ini dikenal sebagai Teori Korespondensi. Contoh: Apabila seseorang mengatakan bahwa rasa gula adalah manis,  untuk mengetahui kebenaran pengetahuan / pernyataan  tersebut harus diuji melalui pengalaman, misalnya dengan mencicipi gula.
Jika dari pengalaman mencicipi gula  ternyata gula itu rasanya manis, maka pengetahuan itu benar. Atas dasar prinsip independensi dan teori korespondensi, maka pengetahuan mungkin saja berubah. Apa yang dulu dinyatakan benar mungkin sat ini dinyatakan salah, atau mungkin pula sebaliknya  sesuai dengan hasil pengalaman empiris yang didapat. Sebab itu, epistemologi demikian dikenal pula sebagai Empirisme atau Objektivisme.  
Aksiologi: Hakikat Nilai .  Karena manusia adalah bagian dari alam, maka ia pun harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan Edward J. Power (1982) bahwa:  “Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat”. “Nilai-nilai individual dapat diterima apabila sesuai dengan nilai-nilai umum  masyarakatnya. Pendapat umum masyarakat merefleksikan status quo realitas masyarakat; dan karena realitas masyarakat merepresentasikan kebenaran yang adalah ke luar dari mereka sendiri, serta melebihi pikiran, maka hal itu berguna sebagai suatu standar untuk menguji validitas nilai-nilai individual” (Callahan and Clark, 1983).
3. Filsafat Pendidikan Pragmatis
Metafisika: Hakikat Realitas . Aliran filsafat Pragmatisme dikenal pula dengan sebutan Eksperimentalisme dan Instrumentalisme. Menurut penganut Pragmatisme hakikat  realitas  adalah  segala  sesuatu  yang  dialami manusia (pengalaman); bersifat plural (pluralistic); dan terus menerus berubah. Mereka berargumentasi bahwa realitas adalah sebagaimana dialami melalui pengalaman setiap individu (Callahan and Clark, 1983). Hal ini sebagaimana dikemukakan William James bahwa: “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia” (S.E. Frost Jr., 1957). Sifat plural realitas antara lain tersurat dalam pernyataan John Dewey: “Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia pria dan wanita, sawah-sawah, pabrik-pabrik, tumbuhan-tumbuhan dan binatang-binatang, kota yang hiruk pikuk, bangsa-bangsa yang sedang berjuang, dsb. …. adalah dunia pengalaman kita” (H.H. Titus et all, 1959). Mengingat realitas ini terus berubah, maka realitas tak pernah lengkap atau tak pernah selesai. Sebab itu, tujuan akhir realitas  pun berada bersama perubahan tersebut. Jadi menurut penganut Pragmatisme, “hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang realitas tidak mungkin dan tidak diperlukan” (Edward J. Power, 1982).
Hakikat Manusia .  Kepribadian/manusia tidak terpisah dari realitas pada umumnya, sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus menerus bersamanya. Karena realitas terus berubah, manusia pun merupakan bagian dari perubahan tersebut. Beradanya manusia di dunia adalah suatu kreasi dari suatu proses yang bersifat evolusi (S.E. Frost Jr., 1957). “Manusia laki-laki dan perempuan – adalah hasil evolusi biologis, psikologis, dan sosial” (Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan perubahan yang terus menerus terjadi tentunya akan  muncul berbagai permasalahan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Sebab itu, manusia yang ideal adalah manusia yang mampu memecahkan masalah baru baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakatnya.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan .  Filsuf Pragmatisme  menolak dualisme antara subjek (manusia) yang mempersepsi dengan  objek yang dipersepsi. Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang dipersepsinya dan dari dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman, adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan adalah metode ilmiah atau metode sains sebagai mana disarankan oleh John Dewey. Pengalaman  tentang fenomena menentukan pengetahuan. Karena fenomena terus menerus berubah, maka  pengetahuan dan kebenaran tentang fenomena itu pun mungkin berubah. Bagaimanapun, kebenaran pada hari ini harus juga dipertimbangkan mungkin berubah esok hari (Callahan and Clark, 1983). 
Menurut filsuf Pragmatisme,  suatu pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan. Adapun kriteria kebenarannya adalah workability, satisfaction, and result . Pengetahuan dinyatakan benar apabila dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan memuaskan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “pengetahuan bersifat relatif; pengetahuan dikatakan bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu Pragmatisme dikenal pula sebagai Instrumentalisme ” (Edward J. Power, 1982).
Aksiologi: Hakikat Nilai . Nilai-nilai diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak bersifat ekslusif, tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam suatu proses, yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia itu sendiri. Karena manusia (idividual) merupakan bagian dari masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai berdasarkan hasil-hasilnya di dalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, maka tindakan tersebut adalah baik .  Nilai etika dan estetika tergantung pada keadaan relatif dari situasi yang terjadi. Nilai-nilai akhir ( ultimate values ) tidaklah ada, benar itu selalu relatif dan tergantung pada kondisi yang ada (conditional). Pertimbangan-pertimbangan nilai adalah berguna jika bermakna untuk kehidupan yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif, dan bahagia (Callahan and Clark, 1983). Karena itu aliran ini dikenal sebagai Pragmatisme atau Eksperimentalisme . 
G.    Implikasi Filsafat terhadap Pendidikan
Implikasi Filsafat Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Scholastisisme dan Eksistensialisme terhadap Pendidikan, sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Menurut para filsuf Idealisme, pendidikan bertujuan untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa, sedangkan tujuan pendidikan dari filsafat Realisme adalah untuk “penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial” dan untuk tujuan pendidikan dari filsafat pragmatisme hampir sama dengan realisme yaitu mengadepankan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadidi dalam masyarakat. Kemudian tujuan dari filsafat Scholatisisme mengajarkan bahwa tujuan pendidikan hendaknya tidak hanya untuk mengembangkan kemempuan intelektual saja, atau hanya untuk mengembangkan kemampuan fisika, melainkan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki manusia agar dapat hidup selamat di dunia maupun di akhirat. Tujuan dari filsafat Eksistensialisme lebih kepada membantu menusia secara individual karena hakikat ini muncul setelahnya jadi dapat memperbaiki kekurangan dari pandangan dari hakikat sebelumnya.
2. Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan Idelaisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Maksudnya adalah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan rasional, moral dan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Kurikulumnya diorganisasikan menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered). Menurut kurikulum pendidikan Realisme sebaiknya kurikulum itu meliputi : Sains,/ilmu pengetahuan alam dan matematika, Ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial serta nilai-nilai. Dan para filsuf Realisme percaya bahwa kurikulum yang baik diorganisasikan menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered) dan ini hampirsama dengan kurikulum yang diterapkan pada pendidikan Idelaisme. Kemudian dalam pandangan Pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Maka dari itu Demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum ;dan makna pemecahan ulang masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Sedangkan isi pendidikan Scholatisisme harus meliputi agama dan ilmu kemanusiaan (humanities). Disiplin matematika, logika, bahasa, dam retorika juga dipandang penting. Lain halnya dengan kurikulum yang dianut pendidikan eksistensialisme yang tidak berpusat pada materi pelajaran karena apapun yang dipelajari peserta didik merupakan suatu alat bagi peserta didik terebut dalam mengembangkan [pengetahuan diri (self knowledge) dan tanggung jawab diri (self responsibility).
3. Metode Pendidikan Pada pendidikan Idealisme struktur dan atmosfir kelas hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, dan untuk menggunakan kriteria penilaian moral dalam situasi-situasi kongkrit dalam konteks pelajaran. Metode pendidikan Idealisme cenderung mengabaikan dasa-dasa fisiologis dalam belajar. Untuk pendidikan realisme metode yang disarankan bersifat otoriter. Dan evaluasi merupakan aspek penting dalam mengajar. Dalam metode yang di gunakan pada penganut pragmetisme ialah metode pemecahan masalah serta metode penyelidikan dan penemuan.sedangkan pada penganut Scholatisisme mengutamakanmetode latihan formal dalam rangka mendisiplinkan pikiran. Kemudian untuk para filsuf Eksistesialisme hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan teknik-teknik pembelajaran nondirective.
4. Peranan Pendidik dan Peserta Didik Menurut para flsuf Idealisme, guru haruslah unggul agar menjadi teladan yang baik untuk siswanya sama halnya dengan pendidikan realism yang juga menekankan pada pentingnya memberikan pengetahuan dan nilai-nilai esensial bagi para siswa. Pada prinsip pendidikan Pragmatisme guru berperan sebagai pemimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh dengan minat siswa. Kemudian pada prinsip yang diterapkan Scholatisisme guru harus menjadi teladan yang baik bagi para siswanya sama seperti prinsip yang di anut hakikat-hakikat sebelumnya. Sedangkan pada hakikat penganut Eksistensialisme guru harus berperan sebagai pembimbing, karena itu pendidik harus bersikap demokratis.

KESIMPULAN
Istilah filsafat  berasal dari dua  kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu philein atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau s ophos yang berarti kebijaksanaan.  Dengan demikian, berdasarkan   asal usul katanya filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Adapun secara operasional  filsafat mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau system gagasan). Di pihak lain jika ditinjau secara leksikal filsafat berarti sikap hidup atau pandangan hidup. 
Berkenaan dengan objek studi, proses studi, tujuan studi, hasil studi,  penyajian dan sifat kebenaran filsafat dapat diidentifikasi karakteristik sebagai berikut: 1) komprehensif mendasar, 2) kontemplatif/radikal dan sinoptik, 3) normatif atau preskriptif dan individualitistik-unik, 4) tematik sistematis dalam bentuk naratif   atau profetik, dan 5) subjektif-paralelistik. Berdasarkan objek yang dipelajarinya filsafat dapat diklasifikasi ke dalam: 1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan.Cabang Filsafat Umum.
Filsafat umum terdiri atas: a.  Metafisika yang meliputi: (1) Metafisika Umum atau Ontologi, dan (2) Metafisika Khusus yang meliputi cabang: (a)  Kosmologi,  (b) Teologi, dan (c) Antropologi. b.  Epistemologi. c.  Logika. d.  Aksiologi yang meliputi cabang: (1)  Etika dan (2) Estetika. Adapun cabang Filsafat Khusus antara lain: (1) Filsafat Hukum, (2) Filsafat Ilmu, (3) Filsafat Pendidikan, dsb. Di dalam filsafat dikenal adanya berbagai aliran seperti Idealisme, Realisme, Pragmatisme,  dsb. 
Idealisme: hakikat realitas bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah/ideal. Manusia memperoleh pegetahuan melalui berpikir, intuisi, atau mengingat kembali. Kebenaran pengetahuan diuji melalui koherensi/konsistensi ide-idenya. Adapun hakikat nilai   diturunkan dari realitas absolute (Tuhan). Implikasinya:  pendidikan hendaknya bertujuan untuk   mengembangkan bakat, kepribadian, dan kebajikan sosial para siswa, agar mereka dapat melaksanakan kehidupan yang baik di dalam masyarakat/negara sesuai nilai-nilai yang diturunkan dari Yang Absolut. Untuk itu kurikulum berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis; kurikulum harus memuat pengetahuan dan nilai-nilai esensial kebudayaan; sebab itu kurikulum pendidikan cenderung sama untuk semua siswa. Kurikulum Idealisme bersifat subject matter centered . Metode dialektik diutamakan, namun demikian beberapa metode  yang efektif yang mendorong belajar dapat diterima;  kecenderungannya  mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam belajar”. Guru harus unggul dalam hal intelektual maupun moral; bekerjasama dengan alam dalam proses pengembangan manusia; dan bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa.  Adapun siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya.
Realisme: Hakikat realitas bersifat fisik/material dan objektif; keberadaan dan perkembangan realitas diatur dan diorganisasikan oleh hukum alam. Manusia adalah bagian dan dihasilkan dari alam itu sendiri; hakikat pribadi tertentukan dari apa yang dapat dikerjakannya; manusia mampu berpikir tetapi ia dapat bebas atau tidak bebas. Pengetahuan diperoleh manusia melalui pengalaman pendriaan; kebenaran pengetahuan  diuji melalui korespondensinya dengan fakta. Nilai hakikatnya diturunkan dari hukum alam dan konvensi/kebiasaan serta adat istiadat masyarakat. Implikasinya: pendidikan bertujuan agar siswa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mampu melaksanakan tanggungjawab sosial. Kurikulum pendidikan berpusat kepada isi mata pelajaran; adapun mata pelajarannya terdiri atas sains/ IPA, matematika, ilmu kemanusiaan dan IPS, serta nilai-nilai. Kurikulum tersebut harus memuat pengetahuan dan nilai-nilai esensial kebudayaan yang diberlakukan sama untuk semua siswa. Kurikulum direncanakan dan ditentukan oleh guru. Kurikulum Realisme bersifat subject matter centered. Metode mengajar yang utama adalah pembiasaan; para siswa hendaknya belajar melalui pengalaman langsung ataupun pengalaman tidak langsung. Peranan guru cenderung bersifat otoriter; guru  harus menguasai  pengetahuan dan  keterampilan teknik-teknik mengajar; Guru memiliki kewenangan dalam membentuk prestasi siswa. Adapun siswa berperan untuk menguasai pengetahuan, harus taat pada aturan dan disiplin. 
Realisme dan Idealisme memiliki kesamaan dalam orientasi  pendidikannya, yaitu Essensialisme. Namun demikian karena kedua aliran ini memiliki gagasan yang berbeda mengenai filsafat umumnya, maka kedua aliran ini tetap memiliki perbedaan pula dalam hal tujuan pendidikan, isi kurikulumnya, metode pendidikan, serta peranan pendidik dan peranan peserta didik/siswanya.
Pragmatisme: Realitas hakikatnya adalah sebagaimana dialami manusia; bersifat plural, dan terus menerus berubah. Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial. Pengetahuan diperoleh manusia melalui pengalaman (metode sains), pengetahuan bersifat relatif; teori uji kebenaran pengetahuan dikenal sebagai pragmatisme/ instrumentalisme, sebab pengetahuan dikatakan benar apabila dapat diaplikasikan.
Hakikat nilai berada dalam proses, yaitu dalam perbuatan manusia, bersifat kondisonal,  relatif, dan memiliki kualitas individual dan sosial.   Pendidikan bertujuan agar siswa dapat memecahkan permasalahan hidup individual maupun sosial. Tidak ada tujuan akhir pendidikan. Kurikulum pendidikan hendaknya berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa (child centered) dan berpusat pada aktifitas siswa (activity centered) . Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah. Pragmatisme mengutamakan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery method). Guru hendaknya berperan sebagai fasilitator, yaitu memimpin dan membimbing siswa belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa. Adapun siswa berperan bebas untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Orientasi pendidikan Pragmatisme adalah Progresivisme dan atau Rekonstruksionisme.

DAFTAR PUSTAKA
Syaripudin, T. dan Kurniasih, (2008), Pengantar Filsafat Pendidikan , Bandung, Percikan Ilmu.
Fileupi.edu : Tatang




Paper Filsafat Pendidikan 4.5 5 aaaaa Jumat, 06 Juni 2014 PERANAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN PAPER PENDAHULUAN Istilah filsafat berasal dari dua suku kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu  phile  atau...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Product :
J-Theme